peningkatan taraf pendidikan desa di desa wonorejo mencakup semua usia
,, untuk memenuhi standat pendidikan yang sesuai keinginan pemerintah
.demi meningkatya standart ekonomi masarakat desa wonorejo itu sendiri
karena perangkat desa wonorej yakin dengan meningkatnya taraf pendidikan
akan ikut serta meningkat taraf ekonomi masyarakat desa.itu terbukti
dari adanya pendidikan untuk lansia 2kali seminggu di desawonorejo
kegiatan ini juga penah di liput oleh media online dan harian jawa pos
salah satu media onlin adalah
,kompas.com .dan demikian yang kami kutip langsung dari kompas.com
kalau langsung ke website nya klik disini
kompas.com
Nenek Pun Yakin Masih Bisa Belajar Membaca...
Rabu, 20 Juni 2012 | 17:16 WIB
”Sehari
penghasilan ibu berapa? Ayo dihitung uang itu untuk apa saja?” tanya
Sang Pengajar. Dengan ragu-ragu, siswa pun berusaha menjawab.
”Penghasilan Rp 15.000. Untuk membeli beras Rp 8.000, membeli minyak Rp
5.000, dan membeli sayuran Rp 2.000,” ujar siswa itu. Pengajar
membimbing siswanya untuk menulis angka dan kebutuhan harian tersebut.
Percakapan
itu adalah bagian dari pembelajaran untuk mendapatkan surat keterangan
melek aksara (SUKMA) 1 di Desa Wonorejo, Kecamatan Maron, Kabupaten
Probolinggo Jawa Timur, pekan lalu. Pembelajaran untuk mendapat SUKMA 1
itu diperuntukkan bagi mereka yang buta aksara dasar, yaitu tak bisa
membaca, menulis, dan berhitung.
”Pembelajaran untuk mereka tidak
sama dengan pendidikan formal. Itu sebabnya pembelajarannya harus
berasal dari lingkungan sekitar dan kehidupan sehari-hari siswa,” ujar
Hidayati, Pengajar SUKMA 1, Kelompok Kartini 18 di Desa Wonorejo,
Kecamatan Maron.
Ases (50), siswa di kelompok belajar itu menambahkan, ”Pelajarannya sulit. Suka lupa. Lebih mudah menghitung uang.”
Suliha
(40), perempuan warga Dusun Kramat, Desa Wonorejo, Kecamatan Maron,
melanjutkan, ”Saya lama-lama yakin bisa. Kalau tidak bisa, ya minta
tolong Yeyen.” Yeyen adalah panggilan untuk cucunya, Yeni (5,5), yang
diajak menemaninya belajar.
Meski sulit, Suliha bertekad untuk
bisa membaca, menulis, dan berhitung. Tujuannya, ia ingin bisa membantu
cucunya saat mengerjakan tugas sekolah.
Demi keinginannya itu
terwujud, Suliha harus membagi waktu antara kerja, mengurus rumah, dan
sekolah. Pagi pukul 06.00, ia sudah pergi ke sawah. Pukul 11.00, ia
pulang ke rumah untuk memasak dan membereskan pekerjaan rumah. Pukul
14.00, ia masuk sekolah hingga pukul 16.00. Usai sekolah, ia baru bisa
menikmati saat beristirahat atau bercengkerama dengan cucunya itu.
Suliha
adalah seorang buruh tani. Ia pernah sekolah hingga kelas III SD,
sebelum akhirnya menikah dan putus sekolah. Ia kembali belajar membaca,
menulis, dan berhitung saat sudah mempunyai dua anak dan seorang cucu.
”Meski nenek-nenek, saya pun ingin bisa (baca, tulis, dan hitung),”
tekadnya.
Tidak mudah
Mengajar orang tua
untuk bisa membaca, menulis, dan berhitung bukanlah hal mudah. ”Sekarang
diajari, mungkin pertemuan berikutnya lupa. Kami harus telaten dan
sabar. Jika tidak sabar, tak akan bisa mengajari beliau-beliau ini,”
imbuh Hidayati, yang pada pagi hari mengajar di lembaga pendidikan anak
usia dini (PAUD).
Pembelajaran SUKMA 1 Kelompok Kartini dilakukan
dua kali seminggu. Satu kelompok terdiri dari 10 siswa dengan seorang
guru. Setiap pertemuan berlangsung pada pukul 14.00 - 16.00.
Pembelajaran dilakukan selama enam bulan. Setelah itu dilakukan ujian.
Mereka yang lulus akan mendapatkan sertifikat SUKMA 1.
Berikutnya
siswa bisa melanjutkan jenjang pendidikan ke SUKMA 2. Di SUKMA 2, siswa
dianggap sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung sehingga siswa
lebih banyak diajari keterampilan, seperti membuat kue atau kerajinan
tangan. ”Biasanya di SUKMA 2 atau pendidikan kewirausahaan ini justru
banyak orang tertarik ikut. Pengetahuan kewirausahaan ini bisa
menjadikan siswa mandiri dengan keterampilannya,” ujar Sumiati, pengajar
SUKMA 2 Kelompok Gading di Desa Wonorejo, Kecamatan Maron.
Di
Kabupaten Probolinggo masih ada sekitar 204.000 warga, dari 1,3 juta
penduduk, yang dikategorikan buta aksara. Mereka umumnya berusia di atas
35 tahun dan tinggal di pegunungan, seperti di Tiris, Bremi, dan
Krucil. Mereka disebut buta aksara karena tidak bisa membaca, menulis,
dan berhitung.
”Buta aksara di Probolinggo bisa terjadi karena
kondisi ekonomi warga yang lemah, geografis tempat tinggal di pegunungan
yang menyulitkan warga mengakses pendidikan, dan usia mereka sudah
tua,” ujar Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Probolinggo Rashid Subagio.
Sebagian
besar warga buta aksara itu, kata Rashid, adalah perempuan. ”Dahulu
sekolah belum dibangun hingga ke pegunungan. Mempertimbangkan lokasi
sekolah yang jauh serta demi faktor keamanan, bisa jadi banyak anak
perempuan diminta tidak bersekolah. Mereka lebih banyak diminta membantu
meningkatkan ekonomi keluarga dengan bekerja,” ujarnya.
Warga
yang masih buta aksara itu, lanjut Rashid, akan dientaskan secara
bertahap. Tahun 2012 ini ditargetkan 30.000 orang buta aksara minimal
bisa melek huruf atau paham huruf. Tahun 2014, Probolinggo diharapkan
sudah bebas dari buta aksara. (Dahlia Irawati)
dan ini foto waktu p