Sabtu, 05 April 2014

PENDIDIKAN DI DESA WONOREJO KECAMATAN MARON

peningkatan taraf pendidikan desa di desa wonorejo mencakup semua usia ,, untuk memenuhi standat pendidikan yang sesuai keinginan pemerintah .demi meningkatya standart ekonomi masarakat desa wonorejo itu sendiri karena perangkat desa wonorej yakin dengan meningkatnya taraf pendidikan akan ikut serta meningkat taraf ekonomi masyarakat desa.itu terbukti dari adanya pendidikan untuk lansia 2kali seminggu di desawonorejo kegiatan ini juga penah di liput oleh media online dan harian jawa pos salah satu media onlin adalah ,kompas.com .dan demikian yang kami kutip langsung dari kompas.com

kalau langsung ke website nya klik disini

         
                                   kompas.com

Nenek Pun Yakin Masih Bisa Belajar Membaca...

Rabu, 20 Juni 2012 | 17:16 WIB


”Sehari penghasilan ibu berapa? Ayo dihitung uang itu untuk apa saja?” tanya Sang Pengajar. Dengan ragu-ragu, siswa pun berusaha menjawab. ”Penghasilan Rp 15.000. Untuk membeli beras Rp 8.000, membeli minyak Rp 5.000, dan membeli sayuran Rp 2.000,” ujar siswa itu. Pengajar membimbing siswanya untuk menulis angka dan kebutuhan harian tersebut.

Percakapan itu adalah bagian dari pembelajaran untuk mendapatkan surat keterangan melek aksara (SUKMA) 1 di Desa Wonorejo, Kecamatan Maron, Kabupaten Probolinggo Jawa Timur, pekan lalu. Pembelajaran untuk mendapat SUKMA 1 itu diperuntukkan bagi mereka yang buta aksara dasar, yaitu tak bisa membaca, menulis, dan berhitung.

”Pembelajaran untuk mereka tidak sama dengan pendidikan formal. Itu sebabnya pembelajarannya harus berasal dari lingkungan sekitar dan kehidupan sehari-hari siswa,” ujar Hidayati, Pengajar SUKMA 1, Kelompok Kartini 18 di Desa Wonorejo, Kecamatan Maron.

Ases (50), siswa di kelompok belajar itu menambahkan, ”Pelajarannya sulit. Suka lupa. Lebih mudah menghitung uang.”

Suliha (40), perempuan warga Dusun Kramat, Desa Wonorejo, Kecamatan Maron, melanjutkan, ”Saya lama-lama yakin bisa. Kalau tidak bisa, ya minta tolong Yeyen.” Yeyen adalah panggilan untuk cucunya, Yeni (5,5), yang diajak menemaninya belajar.

Meski sulit, Suliha bertekad untuk bisa membaca, menulis, dan berhitung. Tujuannya, ia ingin bisa membantu cucunya saat mengerjakan tugas sekolah.

Demi keinginannya itu terwujud, Suliha harus membagi waktu antara kerja, mengurus rumah, dan sekolah. Pagi pukul 06.00, ia sudah pergi ke sawah. Pukul 11.00, ia pulang ke rumah untuk memasak dan membereskan pekerjaan rumah. Pukul 14.00, ia masuk sekolah hingga pukul 16.00. Usai sekolah, ia baru bisa menikmati saat beristirahat atau bercengkerama dengan cucunya itu.

Suliha adalah seorang buruh tani. Ia pernah sekolah hingga kelas III SD, sebelum akhirnya menikah dan putus sekolah. Ia kembali belajar membaca, menulis, dan berhitung saat sudah mempunyai dua anak dan seorang cucu. ”Meski nenek-nenek, saya pun ingin bisa (baca, tulis, dan hitung),” tekadnya.

Tidak mudah

Mengajar orang tua untuk bisa membaca, menulis, dan berhitung bukanlah hal mudah. ”Sekarang diajari, mungkin pertemuan berikutnya lupa. Kami harus telaten dan sabar. Jika tidak sabar, tak akan bisa mengajari beliau-beliau ini,” imbuh Hidayati, yang pada pagi hari mengajar di lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD).

Pembelajaran SUKMA 1 Kelompok Kartini dilakukan dua kali seminggu. Satu kelompok terdiri dari 10 siswa dengan seorang guru. Setiap pertemuan berlangsung pada pukul 14.00 - 16.00. Pembelajaran dilakukan selama enam bulan. Setelah itu dilakukan ujian. Mereka yang lulus akan mendapatkan sertifikat SUKMA 1.

Berikutnya siswa bisa melanjutkan jenjang pendidikan ke SUKMA 2. Di SUKMA 2, siswa dianggap sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung sehingga siswa lebih banyak diajari keterampilan, seperti membuat kue atau kerajinan tangan. ”Biasanya di SUKMA 2 atau pendidikan kewirausahaan ini justru banyak orang tertarik ikut. Pengetahuan kewirausahaan ini bisa menjadikan siswa mandiri dengan keterampilannya,” ujar Sumiati, pengajar SUKMA 2 Kelompok Gading di Desa Wonorejo, Kecamatan Maron.

Di Kabupaten Probolinggo masih ada sekitar 204.000 warga, dari 1,3 juta penduduk, yang dikategorikan buta aksara. Mereka umumnya berusia di atas 35 tahun dan tinggal di pegunungan, seperti di Tiris, Bremi, dan Krucil. Mereka disebut buta aksara karena tidak bisa membaca, menulis, dan berhitung.

”Buta aksara di Probolinggo bisa terjadi karena kondisi ekonomi warga yang lemah, geografis tempat tinggal di pegunungan yang menyulitkan warga mengakses pendidikan, dan usia mereka sudah tua,” ujar Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Probolinggo Rashid Subagio.

Sebagian besar warga buta aksara itu, kata Rashid, adalah perempuan. ”Dahulu sekolah belum dibangun hingga ke pegunungan. Mempertimbangkan lokasi sekolah yang jauh serta demi faktor keamanan, bisa jadi banyak anak perempuan diminta tidak bersekolah. Mereka lebih banyak diminta membantu meningkatkan ekonomi keluarga dengan bekerja,” ujarnya.

Warga yang masih buta aksara itu, lanjut Rashid, akan dientaskan secara bertahap. Tahun 2012 ini ditargetkan 30.000 orang buta aksara minimal bisa melek huruf atau paham huruf. Tahun 2014, Probolinggo diharapkan sudah bebas dari buta aksara. (Dahlia Irawati)


dan ini foto waktu p

0 komentar:

Posting Komentar

pekan kesan,kritik tolong di sampaikan demi kemajuan desa wonorejo

 
Design by http://4-jie.blogspot.com/ | Bloggerized by Fajri Alhadi